Cari Blog Ini

22 April 2018

Gamelan Gender Wayang

Gender adalah nama dari sebuah tungguhan gamelan yang berbentuk bilah (metalophone). Kata gender biasanya dirangkaikan dengan kata rambat dan wayangyang mempunyai bentuk, laras, dan fungsi yang berbeda. Gender Wayang adalah nama dari salah satu tungguhan gender yang berbilah sepuluh dan berlaras selendro. Spesifikasi Gender Wayang adalah sebuah tungguhan gender yang dipakai untuk mengiringi pertunjukan wayang

Gender wayang merupakan sebuah gamelan yang masuk pada klasifikasi golongan gamelan tua, di Bali gambelan Gender Wayang diduga telah ada pada abad ke 14 .Tunggguhan gender atau yang lebih dikenal dengan gamelan Gender Wayang. keberadaan gender wayang menyebar hampir diseluruh penjuru pulau Bali



Gender wayang adalah barungan alit yang merupakan gamelan Pewayangan (Wayang kulit dan wayang wong) dengan instrumen pokoknya yang terdiri dari 4 tungguh gender berlaras slendro (lima nada). Keempat gender ini terdiri dari sepasang gender pemade (nada agak besar) dan sepasang gender kantilan (nada agak kecil).
Keempat gender, masing-masing berbilah sepuluh bilah yang dimainkan dengan mempergunakan 2 panggul. Nada yang di gunakan adalah nada (patet) selendro dan nada nya berawal dari nada berbilah besar bernada rendah ndang atau ndong dan berakhir di bilah nada yang kecil dan bernada tinggi yaitu nada nding atau ndung, tergantung pemain yang memainkan.


Fungsi Gender Wayang

Gender wayang oleh masyarakat (Hindu) di Bali digunakan dalam Yadnya antara lain:
- Dewa Yadnya
- Pitra Yadnya
- Manusa Yadnya


Dewa Yadnya adalah upacara yang ditujukan kepada Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) beserta manifestasinya. Gender wayang dalam Dewa Yadnya digunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang lemah yang diselenggarakan bertepatan dengan pendeta menghaturkan puja wali pada saat upacara berlangsung. Pertunjukan wayang lemah wajib dilakukan pada upacara tingkatan tertentu, misalnya memungkah atau ngenteg linggih. Hal ini diwajibkan karena pertunjukan wayang lemah bersifat seni wali, yaitu kesenian berfungsi sebagai sarana dalam upacara. Tanpa ada seni wali ini, maka upacara dianggap kurang lengkap, kurang sempurna. Oleh karena itu pertunjukan wayang lemah selalu hadir dalam piodalan tingkat tertentu.


Pitra Yadnya dikonsepsikan sebagai upacara yang ditujukan kepada roh leluhur yang belum disucikan. Dalam proses penyucian inilah diadakan upacara ngaben dan nyekah.
Pada upacara ngaben besar-besaran atau Pelebon biasanya menggunakan wadah/ bade sebagai tempat jenazah yang di bawahnya atau pangkal wadah yang berhubungan dengan rangkaian bambu (Bali: sanan) sebagai penyangga atau sarana pengusung), diapit sepasang gender wayang lengkap dengan penabuhnya. Karawitan gender wayang ini disajikan sepanjang rute dari rumah duka menuju ke tempat pembakaran. Menyajikan gender wayang dalam acara ini disebut dengan Masalonding.


Manusa Yadnya merupakan korban suci untuk memelihara dan membersihkan lahir-batin manusia, mulai dari terwujudnya jasmani dalam kandungan sampai akhir hidup manusia.
Dari sejumlah upacara dalam Manusa Yadnya, gender wayang selalu digunakan dalam upacara Sapuh Leger dan Mesangih. Mesangih berasal dari kata “sangih” yang artinya asah. Mendapat awalan “me” menjadi mesangih yang artinya mengasah, dalam hal ini meratakan gigi dengan kikir kecil yang sangat halus. Selain mesangih ada juga sebutan mepandes (di kalangan bangsawan) dan mepapar bagi golongan Bali Age, yang kesemuanya berarti potong gigi

35 komentar:

  1. Mantap kak, pelestarian budaya bali

    BalasHapus
  2. Mantap bro, generasi muda penerus budaya

    BalasHapus