Cari Blog Ini

Ubud Monkey Forest

Baca juga tempat wisata terkenal di Ubud, Bali

Desa Pinggan,Kintamani

Menikmati Sunrise di dataran tinggi dengan view yang indah

Explore

So many wonderful place in Bali

Tradisi

Tradisi,Seni dan Budaya Bali yang sangat beragam

Bali

Pulau Dewata

20 Februari 2018

Perang Api di desa Nagi, Ubud, Bali

Heyy, selamat datang di blog saya.

Disini saya akan membahas tentang  sebuah tradisi unik di wilayah tempat tinggal saya, tradisi turun temurun yang masih dilaksanakan dan terjaga kelestariannya sampai sekarang. Tradisi tersebut dinamakan tradisi Perang Api atau disebut dengan Mesabatan Api. Tradisi ini digelar di wilayah tempat tinggal saya yaitu Banjar Nagi, Desa Petulu, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali. Tradisi ini dilakukan bertepatan dengan Tilem Sasih Kasanga atau pada malam Pengerupukan, sehari sebelum Hari Raya Nyepi.


Pelaksanaan ritual perang api dimulai pada masa pergantian waktu antara senja menuju malam tatkala matahari benar-benar tenggelam. Waktu yang dikenal dengan istilah sandikala ini melambangkan dua elemen yang berbeda dalam satu kesatuan yang saling membutuhkan atau Rwa Bhineda.
Sebelum mengawali ritual perang api, pemangku adat setempat melakukan doa dan sembahyang di dalam pura. Kemudian prosesi di lanjutkan dengan memercikan air atau tirta suci kepada para peserta yang akan mengikuti ritual Mesabatan Api di depan bale banjar. Dan juga warga desa beserta anggota STT membuat hidangan makanan yang dipersilahkan untuk siapapun baik warga maupun wisatawan yang datang. Hidangan itu seperti lawar bali, ayam sambal matah, dll.

Lokasi :
 

Namanya saja perang api, mereka menggunakan sarana api untuk menyerang lawan. Yang digunakan disini adalah serabut kelapa. Sabut - sabut kelapa dikumpulkan kemudian dibakar hingga membentuk bara api, pemuda desa mengelilingi api tersebut sambil menunggu perintah atau aba-aba dimualinya tradisi tersebut. Pemuda-pemuda desa yang terkumpul dalam Sekeha Teruna Teruni (STT) berkumpul di depan Bale Banjar desa Pekraman Nagi, memakai pakaian adat Bali madya tanpa baju, mereka mengenakan kamen (sarung), saput poleng (kota-kotak) dan udeng di kepala. Mereka duduk melingkari batok kepala yang terbakar.


Menunggu batok kelapa ini agar terbakar sempurna, mereka menyanyikan lagu tradisional yang dinamakan gegenjekan, diselingi tari-tarian diantara mereka, terlihat suka cita, kegembiraan dan semangat yang berkobar di wajah mereka untuk melakukan tradisi perang api ini. Terlihat dan mengingatkan kita pada suasana tempo dulu. Para penonton menunggu dengan harap-harap cemas, menunggu perang yang akan terjadi antara pemuda desa tersebut, mengingat api telah berkobar dan siap untuk digelar ritual perang api.


Tiba-tiba aba-abapun terdengar dari Jro Bendesa Desa Pakraman Nagi, tanda tradisi perang api ini dimulai, para pemuda yang tadinya duduk mengelilingi batok kelapa yang sedang berkobar, serta merta bangun, ada yang meloncat ke tengah api, ada yang menendang api, mereka semua seolah tak mengenal kawan, semuannya musuh dan harus diserang, mereka melempar batok kelapa yang masih terbakar ke peserta disebelahnya, ada yang lawan tanding satu lawan satu, bahkan ada yang keroyokan, semua saling serang.


Gambelan baleganjur bertempo kencang mengiringi ritual perang api ini, para peserta terlihat tambah semangat. Semakin malam keseruan kian terasa. Tak ada cahaya apa pun yang menerangi jalannya prosesi Mesabatan Api malam itu. Satunya-satunya sumber cahaya berasal dari nyala api di batok kelapa yang terbakar itu sendiri. Walaupun sekujur tubuh mereka telah berwarna hitam karena terkena arang dan bahkan ada yang terbakar. Teriakan dan tantangan saling mereka lontarkan. Ritual ini memang termasuk tradisi adu nyali dan keberanian, mereka melakukan dengan sadar tanpa kesurupan atau trans, tidak dalam pengaruh alkohol dan tidak dalam keadaan bermusuhan ataupun dendam, semuanya akan damai lagi setelah ritual usai. Setelah selesai, acara dilanjutkan dengan menggarak ogoh-ogoh keliling wilayah Desa Pekraman Nagi.

Tradisi yang sudah dilangsungkan secara turun-temurun ini merupakan upaya tolak bala atas energi negatif atau aura jahat yang ada di sekeliling desa sebelum memulai laku tapa brata di Hari Raya Nyepi. Selain itu tradisi ini juga bertujuan untuk melebur dan memusnahkan sifat-sifat bhuta kala yang ada pada diri manusia, api tersebut sebagai pemusnah dari sifat buruk seperti kemarahan, iri hati, dengki dan juga ketamakan manusia. Walaupun tidak suatu keharusan untuk menggelar ritual perang api ini dan tidak akan terjadi masalah apabila tidak dilaksanakan, namun ini adalah tradisi turun-temurun warisan leluhur yang mesti dijaga kelestariannya.


Bagi wisatawan yang ingin menonton, dipersilahkan datang lebih awal karena tradisi ini dimulai saat sore menjelang malam. Diharapkan menggunakan sepatu, dan berpakaian adat madya bali. Saat mengambil gambar atau foto dihimbau untuk berhati-hati karena serabut kelapa yang berisi api bisa saja mengenai anda.
Bagi wisatawan yang ingin ikut atau berpartisipasi dalam tradisi Perang Api ini, bebas di persilahkan untuk siapa saja, asalkan siap mental dan mau menanggung resiko misalnya luka bakar, dll. Serta tidak lupa harus meminta ijin dulu kepada Jero Bendesa setempat.

Berikut adalah dokumentasi tradisi Perang Api atau Mesabatan Api :