Cari Blog Ini

Ubud Monkey Forest

Baca juga tempat wisata terkenal di Ubud, Bali

Desa Pinggan,Kintamani

Menikmati Sunrise di dataran tinggi dengan view yang indah

Explore

So many wonderful place in Bali

Tradisi

Tradisi,Seni dan Budaya Bali yang sangat beragam

Bali

Pulau Dewata

23 April 2018

Monkey Forest, Ubud

Monkey forest Ubud salah satu hutan kera yang dijadikan sebagai objek wisata di Bali. Lokasinya memang strategis berada berdekatan dengan pusat kota Ubud, sehingga wisatawan bisa begitu mudah untuk mengakses tempat ini. Objek wisata Monkey forest Ubud ini memang lebih terkenal dibandingkan hutan kera lainnya, itulah sebabnya hutan lindung yang dihuni oleh ratusan ekor kera jinak ini selalu ramai pengunjung, baik itu asing maupun domestik.


Bahkan tempat ini setiap bulannya dikunjungi tak kurang dari 10 ribu wisatawan. Para pengunjung pun datang ke tempat ini bukan hanya karena keberadaan monyet-monyet. Tapi juga karena Monkey Forest Ubud ini dikenal sebagai salah satu tempat suci oleh masyarakat Hindu yang ada di Ubud.

Terdapat sekitar empat kelompok monyet yang berdomisili di Hutan Monyet Ubud ini. Monyet yang tinggal di sini termasuk adalah monyet ekor panjang yang mempunyai nama latin Macaca fascicularis. Tak hanya itu, Hutan Monyet Ubud ini juga merupakan rumah untuk 115 spesies pohon.


Objek wisata Monkey Forest mempunyai luas areal sektar 10 hektar yang terletak di Desa Padangtegal. 
Lokasi tepatnya bisa di lihat di bawah :


Masyarakat di desa Padang Tegal pun benar-benar menjaga kelestarian hidup monyet yang ada di Hutan Monyet. Terlebih monyet-monyet di sini merupakan simbol spiritual, serta punya peran ekonomi dan edukasi bagi masyarakat setempat. Pendirian Monkey Forest Ubud ini merupakan upaya masyarakat Hindu Bali untuk menjalankan prinsip agama mereka, yakni Tri Hata Karana. Tri Hata Karana ini merupakan tiga prinsip yang harus dijalani untuk bisa memperoleh kebahagiaan. Oleh karena itu, mereka pun ingin menjadikan Hutan Monyet Ubud ini ebagai lokasi untuk bisa menjaga harmonitas manusia dengan lingkungan.
Monkey Forest Ubud ini juga dikenal dengan nama Mandala Wisata Wenara Wana. Seperti namanya, tempat ini merupakan habitat yang secara khusus dibuat untuk tempat tinggal para monyet. Bahkan total terdapat sebanyak 340 ekor monyet yang tinggal di hutan ini.


Monkey Forest Ubud ini tak hanya didirikan untuk sarana konservasi para monyet dan pepohonan yang ada di sana. Di sini juga terdapat pura yang disebut dengan nama Candi Pura Dalem Agung Padangtegal atau disebut juga Sacred Monkey Forest Sanctuary. Masyarakat setempat pun kerap melangsungkan upacara khusus di pura yang dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada para hewan, disebut dengan nama Tumpek Kandang dan Tumpek Unduh.

Seperti halnya tempat wisata di Bali lainnya, para traveler yang ingin berkunjung ke Monkey Forest Ubud diharuskan untuk membayar tiket masuk. Per 1 Januari 2016, para pengunjung yang sudah dewasa berusia lebih dari 12 tahun dikenakan tiket masuk sebesar 40 ribu rupiah per orang. Sementara untuk anak-anak, dikenakan biaya masuk sebesar 30 ribu rupiah per orang.


Selama berada di area Monkey Forest Ubud, para pengunjung harus memperhatikan beberapa hal. Terlebih keberadaan monyet di hutan ini sangat dihormati oleh masyarakat sekitar. Jangan sampai pengunjung melakukan tingkah yang dianggap tidak menghormati para monyet.

Selain itu, jangan pula memberikan makanan kepada para monyet berupa kacang, biskuit roti ataupun snack yang biasa dimakan oleh manusia. Hal ini dilakukan sebagai langkah preventif untuk menjaga kesehatan mereka. Lain halnya kalau Anda memberi makan mereka berupa pisang. Selain itu, para pengunjung juga harus memelihara kebersihan tempat ini. Jangan membuang sampah sembarangan.

22 April 2018

Gamelan Gender Wayang

Gender adalah nama dari sebuah tungguhan gamelan yang berbentuk bilah (metalophone). Kata gender biasanya dirangkaikan dengan kata rambat dan wayangyang mempunyai bentuk, laras, dan fungsi yang berbeda. Gender Wayang adalah nama dari salah satu tungguhan gender yang berbilah sepuluh dan berlaras selendro. Spesifikasi Gender Wayang adalah sebuah tungguhan gender yang dipakai untuk mengiringi pertunjukan wayang

Gender wayang merupakan sebuah gamelan yang masuk pada klasifikasi golongan gamelan tua, di Bali gambelan Gender Wayang diduga telah ada pada abad ke 14 .Tunggguhan gender atau yang lebih dikenal dengan gamelan Gender Wayang. keberadaan gender wayang menyebar hampir diseluruh penjuru pulau Bali



Gender wayang adalah barungan alit yang merupakan gamelan Pewayangan (Wayang kulit dan wayang wong) dengan instrumen pokoknya yang terdiri dari 4 tungguh gender berlaras slendro (lima nada). Keempat gender ini terdiri dari sepasang gender pemade (nada agak besar) dan sepasang gender kantilan (nada agak kecil).
Keempat gender, masing-masing berbilah sepuluh bilah yang dimainkan dengan mempergunakan 2 panggul. Nada yang di gunakan adalah nada (patet) selendro dan nada nya berawal dari nada berbilah besar bernada rendah ndang atau ndong dan berakhir di bilah nada yang kecil dan bernada tinggi yaitu nada nding atau ndung, tergantung pemain yang memainkan.


Fungsi Gender Wayang

Gender wayang oleh masyarakat (Hindu) di Bali digunakan dalam Yadnya antara lain:
- Dewa Yadnya
- Pitra Yadnya
- Manusa Yadnya


Dewa Yadnya adalah upacara yang ditujukan kepada Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) beserta manifestasinya. Gender wayang dalam Dewa Yadnya digunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang lemah yang diselenggarakan bertepatan dengan pendeta menghaturkan puja wali pada saat upacara berlangsung. Pertunjukan wayang lemah wajib dilakukan pada upacara tingkatan tertentu, misalnya memungkah atau ngenteg linggih. Hal ini diwajibkan karena pertunjukan wayang lemah bersifat seni wali, yaitu kesenian berfungsi sebagai sarana dalam upacara. Tanpa ada seni wali ini, maka upacara dianggap kurang lengkap, kurang sempurna. Oleh karena itu pertunjukan wayang lemah selalu hadir dalam piodalan tingkat tertentu.


Pitra Yadnya dikonsepsikan sebagai upacara yang ditujukan kepada roh leluhur yang belum disucikan. Dalam proses penyucian inilah diadakan upacara ngaben dan nyekah.
Pada upacara ngaben besar-besaran atau Pelebon biasanya menggunakan wadah/ bade sebagai tempat jenazah yang di bawahnya atau pangkal wadah yang berhubungan dengan rangkaian bambu (Bali: sanan) sebagai penyangga atau sarana pengusung), diapit sepasang gender wayang lengkap dengan penabuhnya. Karawitan gender wayang ini disajikan sepanjang rute dari rumah duka menuju ke tempat pembakaran. Menyajikan gender wayang dalam acara ini disebut dengan Masalonding.


Manusa Yadnya merupakan korban suci untuk memelihara dan membersihkan lahir-batin manusia, mulai dari terwujudnya jasmani dalam kandungan sampai akhir hidup manusia.
Dari sejumlah upacara dalam Manusa Yadnya, gender wayang selalu digunakan dalam upacara Sapuh Leger dan Mesangih. Mesangih berasal dari kata “sangih” yang artinya asah. Mendapat awalan “me” menjadi mesangih yang artinya mengasah, dalam hal ini meratakan gigi dengan kikir kecil yang sangat halus. Selain mesangih ada juga sebutan mepandes (di kalangan bangsawan) dan mepapar bagi golongan Bali Age, yang kesemuanya berarti potong gigi

02 April 2018

Upacara Eka Dasa Rudra di Pura Besakih

Eka Dasa Rudra (Ludra) adalah upacara yang dilaksanakan untuk menyambut perhitungan perputaran tahun saka saat satuan dan puluhan mulai menjadi angka 1 (satu).

Karya agung terbesar di Bali ini, dalam Rudra Tattwa disebutkan ditujukan untuk kekuasaan Tuhan yang tidak terbatas dan meresapi segala ciptaanNya agar keharmonisan bhuwana agung dan bhuwana alit sebagai aplikasi dari filosofi Tri Hita Karana.


Dalam perayaannya di Pura Agung Besakih, Eka Dasa Rudra dilaksanakan setiap 100 tahun sekali manakala angka satuan dan puluhan tahun saka mencapai angka 0, disebut pula rah windu tenggek windu.

Dalam catatan di Di Pura Agung Besakih, Tawur Agung Eka Dasa Rudra pernah dilaksanakan tahun 1963, tepatnya pada Sukra Pon Julungwangi tanggal 9 Maret 1963.

Tahun 1979, pada Buda Paing Wariga tanggal 28 Maret 1979, kembali diselenggarakan upacara Tawur Agung Eka Dasa Rudra. Upacara Tawur Eka Dasa Rudra 1979 ini sesuai dengan perhitungan perputaran tahun Saka saat satuan dan puluhan mencapai angka nol, yaitu pada tahun Saka 1900.


Rangkaian (dudonan) prosesi Tawur Agung Eka Dasa Rudra dilaksanakan dengan berpedoman pada sumber sastra yang ada disertai berbagai kajian para Sulinggih terhadap tata laksana yadnya

Tawur. Pelaksanaan upacara diawali dengan Matur Piuning, Nuwasen Karya, Nuwur Tirtha, Melasti hingga puncak Karya Agung.

Dengan waktu pelaksanaan yang berhimpitan dengan Sasih Kadasa (puncak Tawur Eka Dasa Rudra dilaksanakan pada Tilem Kasanga),

Pada pelaksanaan Eka Dasa Rudra 1979 dilanjutkan dengan upacara tahunan Bhatara Turun Kabeh pada Purnama Kadasa.

Sebagai tambahan, disebutkan pula dalam Babad Usana Bali Pulina, setelah Sri Jaya Kasunu wafat, Beliau digantikan oleh putranya yang bergelar Sri Jaya Pangus. Pada masa pemerintahan Beliau inilah dilaksanakan upacara Tawur Eka Dasa Rudra.


Ekadasa Rudra menjadi upacara agama umat Hindu terbesar. Karena itu harus dilakukan dipura terbesar dan sementara ini menurut catatan sejarah yang ada baru hanya pernah dilakukan di Pura Besakih.

Bencana alam dan sosial diacu sebagai pertimbangan untuk perlunya penyelenggaraan upacara ini. Tetapi memiliki batasan penggunaan acuan tersebut dengan penetapan waktu yang berdasarkan setiap sepuluh atau seratus tahun atau bahkan ada sebagian pendapat yang memandang tanpa adanya interval waktu, dengan mengacu pada perlunya penyelanggaraan bila telah terjadi bencana besar, berkepanjangan dan memakan korban dan kerugian sangat besar.

Ritual ini dikenal dengan nama Eka Dasa Rudra (pemujaan terhadap 11 Kala Rudra, yang menguasai bhuta/kala di setiap arah penjuru angin). Tujuan ritual ini adalah memohon keseimbangan jagat dengan tujuan untuk menjauhkan manusia dari bencana dan memberikan kesejahteraan.


Eka Dasa Rudra adalah serangkaian upacara besar yang memakan waktu lebih dari 2 bulan untuk menuntaskannya. Dari rangkaian ritual tersebut yang menjadi bagian terpenting adalah Tawur Eka Dasa Rudra, dalam konteks ini Yadnya/bhakti (sesaji) ditujukan kepada kesebelas butha wujud Kala Rudra ~ bukan untuk pemujaan pada Hyang Rudra, agar tidak mengganggu keseimbangan alam.

Meskipun Ritual Eka Dasa Rudra sudah ada diperkenalkan pada jaman sejarah kerajaan Bali Kuna, upacara ini kembali ditata ulang oleh Danghyang Nirartha pada masa kebudayaan Majapahit di Bali, di saat berkuasanya Dalem Waturenggong, raja kerajaan Gelgel.

Upacara Eka Dasa Rudra selanjutnya akan dilaksanakan kira-kira 60 tahun lagi, yaitu pada tahun Çaka 2000.